JODOH DI SURGA
Aku adalah
Irena, sejak lulus dari bangku Sekolah Menengah Kejuruan, aku memutuskan untuk
meninggalkan kampung halaman dan merantau ke kota. Pahit manis hidup di
perantauan hari demi hari ku rasakan. Rasanya jauh dari keluarga memang tidak
enak. Tapi ini semua aku lakukan tak lain untuk mereka, keluargaku.
Aku
mengorbankan perasaanku karena ini. ku tinggalkan Hanang, yang selama ini telah
menemaniku melewati hari – hari kelamku setelah kehilangan sosok ayah dalam
didupku. Dia sangat sempurna bagiku, sifat dan tabiatnya sama persis dengan
almarhum ayah. Itu yang membuatku benar – benar nyaman bersamanya.
Sudah
lima tahun aku mencari sesuap nasi di
kota ini. Jauh dari kampung halaman. Tak bersaudara dan berkeluarga. Aku
sebatang kara hidup di perantauan. Mungkin karena didikan dari almarhum ayah
dulu sehingga aku bisa mandiri dan kuat menghadapi kerasnya hidup.
Begitupun
hubunganku dengan Hanang yang sudah enam tahun lamanya. Enam tahun memang bukan
waktu yang singkat. Selama itu dia selalu mensuport semua hal positif yang aku lakukan, mengingatkan jika aku salah
dan slalu meluangkan waktunya untuk sekedar menelvon menanyakan keadaanku.
Awalnya aku
khawatir jika kepergianku berarti mengakhiri hubungan ini secara perlahan. Tapi
setelah menjalaninya, aku yakin jika hubungan ini akan bertahan lama.
Entah
karena apa, menjalani hubungan dengan Hanang merupakan semangat dalam hidupku.
Aku tak pernah seserius ini dalam menjalani sebuah hubungan dengan mantanku
dulu. Tapi dengan Hanang, entahlah. Aku sangat mencintainya begitupun dengan
keyakinanku bahwa dia juga sangat mencintaiku.
Tapi
hubungan dan komunikasi yang lancar antara kami akhir – akhir ini berkurang.
Dia jarang sekali menelponku, bahkan untuk sebuah pesan singkat pun aku sudah
sangat jarang menerimanya. Semakin hari komunikasi antara kami semakin jarang,
setiap hari pula aku mengiriminya pesan untuk sekedar mengingatkan hal – hal
kecil seperti makan, sholat dan istirahat dengan harapan dia akan membalas
pesanku walau hanya untuk mengatakan “aku baik – baik saja”.
Dua minggu
sudah dia tidak ada kabar. Aku semakin cemas karenanya. Bukan takut dia
memiliki wanita lain, karena aku sangat percaya padanya. Aku takut terjadi apa
– apa pada Hanang. Ku tanyakan pada teman – temannya dan Nilam, adik perempuan
Hanang, tapi dari sekian banyak orang yang ku tanyai tentang Hanang, mereka tak
menjawabnya dengan jelas.
Aku sering
menghabiskan do’aku untuk Hanang agar dia baik – baik saja. Tak jarang aku
menangis menanti pesan darinya. Hingga tiga minggu dia tak kunjung ada kabar.
Aku sudah pasrah jika memang dia melakukan ini untuk menjauhiku, aku ikhlas dia
memilih yang lain asalkan dia bahagia dan tetap baik – baik saja. Meskipun
teramat berat melupakannya.
Akhirnya
ponselku berbunyi menandakan datangnya sebuah pesan. Ku lihat nama Hanang di
layar ponselku. Segera ku baca pesan itu, Hanang hanya menuliskan, aku baik – baik saja Na, kamu jaga diri baik – baik ya,
maaf lama ga kasih kabar ke kamu. Air mataku berlinang membaca pesannya.
Mungkin karena rasa rinduku padanya yang terlalu dalam.
Hatiku lega membaca pesannya bahwa dia
baik – baik saja. Aku memutuskan untuk pulang karena kebetulan ada libur tahun baru ditambah aku mengambil cuti
beberapa hari. Tanpa mengabari Hanang aku berangkat pukul 17.00 WIB menggunakan
kereta api. Rencananya esok harinya akan tiba di stasiun kampung
halamanku. Aku ingin memberi kejutan
kepada Hanang atas kepulanganku tahun baru ini. Lagi – lagi pesan dan telvonku
selama perjalanan tak mendapat respond dari Hanang. Tapi aku tak terlalu
memikirkannya karena besok pagi aku pasti akan bertemu dengannya.
Tepat pukul 07.00 WIB kereta tiba di
stasiun. Entah kenapa aku ingin segera sampai dirumah dan menemui Hanang. Rasa
rinduku padanya sudah tak bisa dibendung lagi. Setibanya di rumah, aku mandi
terlebih dahulu untuk melepas penat selama perjalanan semalam. Usai mandi aku
meminta ijin kepada Ibu untuk menemui Hanang. Ibu pun mengijinkan aku, “salam
untuk Hanang ya Na”, ucapnya. Hanang memang sudah dianggap anak sendiri oleh
Ibu.
Dengan senang aku menggunakan motorku
menuju rumah Hanang. Biasanya dia belum berangkat kerja sepagi ini. Ketika aku
melewati perempatan menuju rumah Hanang, suasana sepi sekali, tak seperti
biasanya. Ku lanjutkan saja laju motorku hingga tiba di depan rumah Hanang.
Alangkah terkejutnya aku, bendera
kuning berkibar di depan rumah Hanang. Di halaman rumahnya sudah berkumpul
banyak warga. Aku bertanya – tanya dalam hati, siapa yang meninggal dirumah
Hanang, Nilam kah? Atau Umi (ibu Hanang), atau Abi (ayah Hanang), atau embah.
Tanpa kepastian aku berjalan memasuki
rumah Hanang. Aku semakin bertanya – tanya siapa yang meninggal. Ku lihat di
pojok ruang, Nilam dengan mata sembab tertunduk lesu. Begitupun dengan Umi.
Berarti bukan Nilam dan umi, batinku.
Perlahan ku sapu seluruh sudut ruangan
dengan mataku. Nilam yang melihatku menghampiriku dengan wajah penuh duka.
“kapan dateng kak?”
“baru aja tadi pagi Lil, siapa yang
meninggal? Abi atau embah atau siapa”
Nilam tak menjawab pertanyaanku. Dia
hanya tertunduk dan kembali meneteskan air mata.
“mas Hanang kemana Lil?”
Lagi – lagi Nilam hanya terdiam. Dia
semakin terisak. Tangannya menggapai tanganku dan menggandengku lebih dekat
dengan jenazah yang masih tertutup kain putih. Jantungku berdegup lebih cepat
dari biasanya. Tangan mungil Nilam mengusap air matanya dan membuka kain yang
menutupi wajah jenazah yang terbaring tersebut.
Ku lihat wajah di balik kain itu. Dan
....... petir seolah menyambarku saat ini. Hujan pun mulai mengguyur pipiku.
Aku terkejut, rasanya aku ingin pingsan. Tubuhku seketika lemas tak berdaya.
Waktu seolah berhenti saat itu juga. Aku masih belum percaya dengan apa yang ku
lihat. Aku berharap ini hanya mimpi buruk saja.
“ha... Hanang..”
Aku terisak, Nilam pun menangis
sejadinya.
“Hanang.. buka mata kamu, aku pulang
buat kamu, kamu kan udah janji kalo mau ngerayain tahun baru bareng aku.. besok
tahun baru Hanang... banguunn”
Suaraku bersamaan dengan tangisanku
memecah kesunyian dan duka disekitarku. Aku sudah tak ingat apa – apa lagi
setelah itu. Semuanya gelap.
Ketika aku sadar, aku sudah berada di
sebuah kamar. Kamar Hanang tepatnya, karena aku tahu Hanang sangat mengidolakan
Iwan Fals. Poster – poster Iwan Fals tertempel di dinding kamar. Aku kembali
menangis, ku ambil foto Hanang di atas meja. Aku tak bisa berkata apa – apa
lagi. Hanya bisa meneteskan air mata sejadi – jadinya.
Pintu kamar Hanang terbuka, kudapati
wajah sendu Nilam dari balik pintu membawa segelas teh hangat.
“Kak Rena udah sadar”
“mas Hanang Lil, mas Hanang mana?”
Nilam tampak sangat menahan air
matanya agar tak terjatuh dihadapku. Dia menyodorkan segelas teh hangat itu
untukku. Aku sedikit tenang tapi aku masih saja meneteskan air mata. Nilam
mendekatiku perlahan.
“kak, mas Hanang tiga minggu lalu
mengalami kecelakaan kerja di tempat dia kerja. Selama tiga minggu mas Hanang
di rumah sakit dan ga sadar. Beberapa hari yang lalu mas Hanang sadar dan
nyuruh Lilam buat sms kakak kalo mas Hanang baik – baik aja. Mas Hanang juga
nitip buku buat kakak, sejak hari itu kondisi mas Hanang memburuk dan tadi pagi
dinyatakan meninggal”
Nilam tersedu menceritakannya padaku.
Dia mengambil sebuah buku di laci Hanang, memberikannya padaku dan beranjak
meninggalkan kamar. Tinggallah aku dan bayang – bayang Hanang di tempat ini.
Ku buka perlahan buku itu, setiap
lembarnya ku baca, ada fotoku dan foto kebersamaan kami dulu. Pada tulisan
terakhir, aku membacanya dengan berderai airmata.
Hari ini aku masih sangat mencintai dan menyayangi kamu Rena, aku
masih setia nunggu kamu pulang. Aku rindu senyuman kamu, aku janji Rena akan
slalu buat kamu tersenyum. Maaf jika kesibukan dan pekerjaanku menyita
perhatianku darimu. Tapi ketahuilah kamu tetap prioritas dalam hidupku.
Tahun baru nanti, aku mau ke kotamu dan nglamar kamu. Mungkin ini
terlalu cepat. Tapi enam tahun sudah cukup meyakinkan aku jika kamu benar –
benar aku cintai...
Air mataku menetes menyusuri pipiku
yang sudah basah dibuatnya sejak tadi. Ku peluk buku dan foto itu, ku peluk
erat. Seperti bayang – bayang Hanang yang masih bisa berbicara padaku di kamar
ini. Aku hanya bisa memeluk bayang – bayangnya saja, tak ada lagi Hanang.
Hanangku, percayalah, cinta kita sampai di surga.. semoga kau menjadi jodohku
di surga nanti.
Malam tahun baru hanya ku habiskan
bersama bayang – bayang Hanang yang masih setia menemaniku. Menyusuri setiap
kenangan bersamamu, Hanang. Memutar seluruh rekaman di otakku tentang
kebersamaan kita. Dan alunan lagu a thousand years ini benar – benar membuatku larut
dalam cinta dan rinduku padamu. Kamu tak kan pernah mati Hanang.. karena kamu
hidup di hatiku.
10.26
9Des2013
LiezZeea
FaFa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar